23 Oktober, 2024
Perang Banjar
28 April 1859

Latar Belakang dari Perang Banjar (28 April 1859)
Perang Banjar atau Perang Banjar-Barito atau Perang Kalimantan Selatan adalah perang perlawanan terhadap penjajahan kolonial Belanda di Kerajaan Banjar yang berlangsung hampir setengah abad (1859–1906), sehingga menjadikannya perang terlama di Nusantara. Jika dilihat coraknya, perlawanan dapat dibedakan antara perlawanan ofensif yang berlangsung dalam waktu relatif pendek (1859–1863), dan perlawanan defensif yang mengisi yang mengisi seluruh perjuangan selanjutnya (1863–1905/06).
Konflik dengan Belanda sebenarnya sudah mulai sejak Belanda memperoleh hak monopoli dagang di Kesultanan Banjar. Dengan ikut campurnya Belanda dalam urusan kerajaan, kekalutan makin bertambah. Pada tahun 1785, Pangeran Nata yang menjadi wali putra mahkota, mengangkat dirinya menjadi raja dengan gelar Sultan Tahmidullah II (1761–1801) dan membunuh semua putra almarhum Sultan Muhammad. Pangeran Amir, satu-satunya pewaris tahta yang selamat, berhasil melarikan diri lalu mengadakan perlawanan dengan dukungan pamannya Gusti Kasim (Arung Turawe), tetapi gagal. Pangeran Amir (kakek Pangeran Antasari) akhirnya tertangkap dan dibuang ke Ceylon (kini Sri Langka).
Penyebab Terjadinya Perang
Strategi awal yang dilakukan Belanda demi menguasai Kerajaan Banjar ialah dengan menjalin perjanjian dengan Sultan Sulaiman pada 1817. Masuknya pengaruh Belanda ini tentu memengaruhi kondisi politik, sosial, dan ekonomi di Kerajaan Banjar pada masa itu.
Pertama, karena adanya penyempitan daerah kekuasaan Kerajaan Banjar. Hal inilah yang merupakan akibat dari adanya perjanjian dengan Belanda di tahun 1817 berisikan bahwa Sultan Sulaiman harus menyerahkan sebagian wilayah Banjar kepada Belanda.
Daerah tersebut mencakup Dayak, Sintang, Bakumpai, Tanah Laut, Mundawai, Kotawaringin, Lawai, Jalai, Pigatan, Pasir Kutai, dan Beran. Selanjutnya berdasarkan perjanjian lain pada 1826, daerah kekuasaannya mencakup Hulu Sungai, Martapura, dan Banjarmasin.
Kedua, kesengsaraan rakyat Banjar karena dibebani oleh pajak yang tinggi dan kerja wajib. Di sisi lain daerah kekuasaan pun mulai menyempit dan membawa dampak negatif pada kehidupan sosial dan ekonomi di masyarakat.
Salah satunya seperti penghasilan para penguasa kerajaan yang mulai berkurang dan hal-hal lainnya. Rakyat pada masa itu juga diperintahkan untuk melakukan kerja wajib yang menyebabkan kesengsaraan meningkat.
Dengan masuknya pola hidup Barat, penguasa pun memiliki kebutuhan yang makin tinggi. Hal inilah yang melatarbelakangi kenaikan pajak sehingga menyebabkan keresahan sosial dalam masyarakat.
Ketiga, adanya campur tangan atau intervensi Belanda. Dalam hal ini Belanda mulai ikut campur dalam pengangkatan pejabat-pejabat penting di kerajaan.
Kemudian pada 1852, putra mahkota Abdurrakhman meninggal secara mendadak. Sultan Adam pun akhirnya merekomendasikan ketiga putranya sebagai calon kandidat pengganti, yaitu Pangeran Tamjidillah, Pangeran Hidayatullah, dan Prabu Anom.
Pada kompetisi sengit tersebut, terpilihlah Pangeran Tamjidillah sebagai sultan muda. Tak berselang lama, Sultan Adam meninggal. Pangeran Tamjidillah pun langsung naik menjadi mangkubumi. Ternyata hal ini bukan ide yang bagus bagi rakyat.
Diangkatnya Tamjidilah justru menimbulkan kecaman dari rakyat karena perangainya yang kurang baik, Pangeran diduga suka bermabuk-mabukan dan dinilai tidak akan bisa mengurus kerajaan dengan sebagaimana mestinya.
Konflik semakin menajam karena Pangeran Tamjidillah terus menerus disisihkan dalam urusan kerajaan, hal ini pun membuat ia akhirnya murka. Akibat adanya gesekan di kerajaan inilah peperangan antara rakyat Banjar dan Pemerintah Belanda dimulai yaitu, pada 1859.
Akhir Perang
Pada Februari 1862, belanda akhirnya berhasil menangkap Pangeran Hidayatullah. Beliau dibawa dan diasingkan di Cianjur, Jawa Barat.
Berita ini pun lantas membuat Pangeran Antasari marah dan melakukan genjatan kepada Belanda melalui serangan-serangan ke benteng-benteng di Tundakan.
Pada penyerangan ini Pangeran Antasari sempat menang dan memenangkan gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin atau pemimpin tertinggi agama.
Namun itu tak berselang lama, Pangeran Antasari wafat pada 11 Oktober 1862. Akhirnya perlawanan pun dilanjutkan pada teman seperjuangan dan putra beliau.
Belanda perlahan akhirnya menyadari kekuatan rakyat bergantung pada pemimpin mereka, oleh karena itu Belanda berusaha menangkap semua pemimpin yang ada di masa itu. Sampai akhirnya semua pemimpin gugur, dan perlawanan rakyat Banjar dan Belanda pun berakhir.
Strategi Perang
Pangeran Hidayatullah dan Pangeran Antasari menggunakan strategi perang gerilya dengan membuat kerajaan baru di pedalaman dan membangun benteng-benteng pertahanan di hutan-hutan. Semangat perlawanan dari persatuan rakyat Banjar dan Dayak diikat dengan relasi kekeluargaan dan kekerabatan melalui ikatan pernikahan. Ikatan tersebut melahirkan status pegustian dan temenggung yang menjadi sarana pemersatu dan solidaritas Banjar-Dayak menghadapi Belanda
Pangeran Antasari juga menggalang kerja sama dengan Kesultanan Kutai Kertanegara melalui kerabatnya di Tenggarong. Pangeran Antasari menyurati pangeran-pangeran lainnya dari Kutai seperti Pangeran Nata Kusuma, Pangeran Anom, dan Kerta. Mereka semua adalah mata rantai penyelundupan senjata api dari Kutai ke Tanah Dusun (Banjar). Namun, ketika Perang Banjar dilanjutkan oleh keturunan Pangeran Antasari, Sultan Kutai Aji Muhammad Sulaiman tidak merespons positif permintaan bantuan dari Pangeran Perbatasari. Bahkan, Pangeran Perbatasari diserahkan kepada Belanda pada 1885
Benteng-benteng pertahanan yang terkenal di hulu dan hilir Teweh:
Bukti Sejarah

Pangeran Antasari

Pangeran Hidayatullah

Gusti Muhammad Arsyad
